iswadi,yudo,pasla, begitulah bang Iwan Fals menyebut nama-nama mereka seolah mengabsen atau mungkin mencari, yaa layaknya seorang ayah yang mencari para anak laki-laki terbaiknya yang lahir di negeri ini,atau mungkin tepatnya yang pernah ada di negeri ini.,(syair lagu "mereka ada di jalan" dari album "belum ada judul" oleh Iwan Fals)
coba lihat anak kota cuma bisa main futsal yang harga sewa lapangannya minimal 100 ribu/jam, karena lapangan hanya di peruntukkan buat siapa dan oleh siapa ?.,tapi aghh sudahlah nasib orang berbeda-beda anggap saja seperti halnya yang bisa masuk timnas nanti orang-orang yang beruntung di tunjuk sama pelatih yang mungkin di jamin bisa melihat materi pemain bagus tanpa unsur nepotisme apalagi pakai pelicin segala,semoga tidak yaa..?!
satu hal yang aku sayangkan di negeri kita yang jumlah penduduknya lumayan banyak, kok bisa dari jaman ubi hingga sekarang negara kita belum pernah masuk dalam daftar negara peserta piala dunia,..apa yang salah yaa ?,
stadion banyak, apalagi penggemar bola pada mati-matian, malah pendukung tim arema malang menyumbang buat klub asal kota mereka,lihat saja di tivi antara suporter saling gebuk lantaran fanatiknya,atau pemain yang mukul wasit mungkin wasitnya mirip wajah mertua si pemain yaa ? ah.ah.ah.ah.ah.fakta mengatakan massa terbanyak di negeri ini adalah sepak bola, bahkan sampai selebrity (kaum hawa yang top kayak di italia,spanyol,inggris dll) negeri ini juga ikut pada banyak yang gila ingin kawin dengan pesepak bola, apa yang salah yaa ?, kurang belajar atau kebanyakan belajar hingga akhirnya pusing sendiri timnas mau di bawa kemana hingga PSSI sampai pecah jadi 2 kubu, ini saking idealisnya para pengurus atau karena saking banyaknya rakyat indonesia yang menyukai sepak bola (massanya) ?(yeahh...maybe mister ).jadinya bola dalam politik atau politik dalam bola bukannya mencari cara agar sepak bola indonesia bisa cepat maju dan punya prestasi,jepang saja yang baru kenal sepak bola kurang-lebih dua dekade bisa semaju itu, kita malah cuma bisa begadang telat masuk kantor dan main judi buat negara orang lain yang bertanding di piala dunia.maupun di liga-liga sepak bola negara eropa dan amerika eh.eh.eh.eh.eh.
oia saya punya usul-usulan kayak script-script-pan yang ada di cerita opera van java,.eh.eh.eh.eh.eh.
bagaimana kalau dana buat bangun wisma atlet yang hingga saat ini masih bermasalah uangnya di tarik saja buat mengontrak pelatih sekelas ferguson (manchester united) yaa kalau uangnya belum keburu habis buat beli kaos partai.eh.eh.eh.eh.eh. mumpung bangunannya tidak kelar-kelar seperti halnya kasusnya dimana para pimpronya hanya bisa jawab tidak tahu-menahu ketika di tanya oleh hakim,jaksa atau wartawan.dengan wajah tak berdosa sama-sekali.eh.eh.eh.eh.eh.
yaa,..semoga sepak bola indonesia cederanya cepat sembuh dan kembali merumput eh.eh.eh.eh.eh,(ternak kalee ?) maksud saya berprestasi
(maaf daeng,..patung ta di rubuhkan, karena tidak mirip david beckham,apalagi ariel noah, dan menghalangi bilboard iklan hape dan hotel,eh.eh.eh.eh.eh."makanya kalian kualat tidak pernah lagi juara liga indonesia",..bisik arwah ramang buat si pemilik lapangan eh.eh.eh.eh.eh.)
-mathsouldepoemer-
SEPAKBOLA INDONESIA
Ramang Dari Kaki Telanjang
Majalah Tempo Mei 1971. Ramang, eks penyerang tengah PSSI tahun 50-an, memulai karirnya dengan kaki telanjang. hanya dpu yang masih memperhatikan, tetap sebagai opas. pemain sepak bola dipelihara bila di-tc.
“BERMAIN dar i kaki-telandjang kesepatu dengan langsung memakai sepatu, berlainan”, kat a Ramang, bekas penjerang tengah PSSI tahun 50-an. P engaruhnja akan terasa pada penguasaan dan pengontrolan bola. Tapi nampaknja kemahiran Ramang dikala itu tidak tjuma karena ia memulai karirnja dengan kaki telandjang tapi karena kaki jang telandjang itu ia pergunakan untuk menendang-nendang bola dari rotan. Ini terdjadi ketika ia masih berusia 10 tahun di Goa, Sulawesi Selatan. Ketika itu ajahnja, adjudan Radja Goa Djondjong Karenta Lemamparang masih hidup, dan orang tua inipun suka bermain sepakraga bahkan pandai membikin bolanja jang terbuat dari lilitan rotan. Permainan itu kelak mengangkat nama baiknja. Ia mengatakan bahwa “tjara menendang bola kita dapati dalam menendang raga” — ini memang terbukti. Tony Pogacnik, pelatih PSSI pada djamannja menjaksikan sendiri betapa Ramang bisa menendang bola kekiri tapi disetengah lambungan membelok kekanan. Tendangan efek seperti itu adalah keistimewaannja pula dan bagi kalangan bola: sepakragalah jang dituduh mendjadi sumber ilhamnja.
Warung kopi. Tidak lama ia berlatih dengan bola rotan, buah djeruk dan gulungan kain, sebab ditahun 1939 ia sudah mulai menendang bola kulit untuk suatu team kesebelasan Barru, kota kelahirannja. Begitu tjepat ia menandjak, seolah-olah lebih tjepat dari kemampuannja menggiring bola. Tapi lebih tjepat lagi keputusannja untuk mengachiri masa budjangnja. Sebab ditahun 1943 ia menikah dengan seorang gadis Bontain tjampuran Bone. Ini perkawinan tak selesai hanja dipelaminan. Setelah mereka hidup bersama. dibukalah sebuah warung kopi tempat mentjari nafkah mereka. Duka datang dengan kematian seorang putera jang lahir kemudian. Lantas pindah ke Makassar sebelum proklamasi kemerdekaan. Sementara menganggur dan menumpang dirumah teman. Lalu mengemudikan betjak untuk makan. Pindah kerdja djadi kenek truk. Lahir anaknja jang kedua. Padahal pangkatnja masih kenek djuga. Ini sampai tahun 1947. Dan selama itu ia berhenti main bola.
Tapi muntjulnja kembali dilapangan hidjau menggelodjok seakan tidak perlu lagi senam untuk pemanasan. Begitu ia terdjun di dalam kompetisi PSM ditahun 1948, kesebelasannja menang 9-0 dan hanja dia bersama dua temannja jang mentjetak angka itu. Setahun kemudian ia sudah keliling Indonesia. Tapi ketika ia kembali ke Makassar seorang datang melamarnja — bekerdja sebagai opas di DPU. Gadjinja? Dari dulu sampai sekarang, setelah naik plus tundjangan-tundjangan — total djenderal: Rp 3.500. Untungnja barangkali tjuma satu: ia masih tetap bisa main bola!
Kuda. Pada tahun 1952 ia menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arland mengikuti latihan di Djakarta. Ini menjeretnja mendjadi pemain utama PSSI. Didampingi Suardi Arland dikanan dalam dan Nursalam dikiri dalam, ia bagai kuda kepang ditengah gelanggang. Permainannja sebagai penjerang tengah itu: bermutu. Maka setahun kemudian ia keliling dibeberapa negeri asing. Namanja menondjol sekali. Tapi ini tak lama karena 9 tahun kemudian — ia sudah bisa dilupakan. Hanja DPU jang masih memperhatikannja meskipun pangkatnja tetap opas. Ada djuga sumbangan dari PSM pada masa djabatan Major Sjamsuddin sebagai ketua dengan menembok kediamannja jang diperoleh dari PU, tapi sedjak itu “tidak pernah mendapat panggilan lagi”. Ini mengesankan padanja bahwa “kuda patjuan lebih berharga dari kita”, katanja pula. “Sebab kuda patjuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang maupun kalah. Sedang pemain sepakbola hanja dipelihara kalau ada panggilan TC — tapi sesudah itu tak ada lagi apa-apa.
Mungkin apa jang terdjadi sekarang Ramang tak banjak tahu, tapi meskipun mungkin itu lebih baik dari djamannja “team nasional sekarang toch tidak akan bisa menjamai dulu”, sahutnja. Baginja kelihatan terletak pada soal pemilihan pemain, sebab katanja: “Bagi saja meskipun seorang tukang betjak — asal pandai, dialah jang harus dipilih. Tetapi jang terdjadi djustru bukan itu”. Memang nampaknja dalam formasi PSSI sekarang ini tidak ada jang pernah mendjadi tukang betjak, seperti ketika Ramang masih ada didalamnja. Sampai disini ia djuga belum mengakui bahwa team PSSI sekarang tangguh-tangguh. Diukur dengan dirinja sendiri, “saja tjuma kalah nafas dengan mereka, jang lainnja tidak”.
Laki-laki kekar jang sudah masuk umur itu (43 tahun) kini tinggal di Makassar bersama isteri dan 3 orang anaknja. Ia masih tetap bekerdja sambil njambi djadi wakil pelatih kesebelasan PSAD. Hanja wakil sebab “pelatih harus melalui pendidikan”, sedang Ramang sesungguhnja dari dulu pemain alam jang tak kenal bangku sekolah bola. “Ketjuali 3 tahun dilatih Tony Pogacnik”, pelatih jang menurut dia paling baik. Sedikit tambahan untuk dapurnja djuga datang dari sebuah kabupaten dimana ia melatih djuga disana. Dua puteranja mengikuti djedjaknja mendjadi buntut bola. Jang pertama Anwar Ramang tertjatat sebagai pemain PSSI Junior jang pernah membobolkan Kesebelasan Burma di Manila tahun jang lalu, sedang jang kedua, jang paling bungsu, Arsjad, 18 tahun masih terus berlatih di Makassar. Dan menuruti nasihat ajahnja: “dia masih kaki telandjang”, kata Ramang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar